Selasa, 08 Februari 2011 - 20:34 |
oleh Ridho Mochammad Salafi Handoyo |
Salah satu potret keriuhan aktivitas OO. (foto: ridho m.s.h.)
S. SUDJOJONO berbakat melukis dan banyak membaca tentang seni lukis modern Eropa, memilih jalan hidup sepenuhnya sebagai pelukis sejak 1937. Pameran bersama pelukis Eropa di Kunstkring Batavia, memopulerkan namanya sebagai pelukis. Di tahun yang sama bersama sejumlah pelukis pribumi kemudian mendirikan PERSAGI (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia). Posisi awal Sudjojono di PERSAGI sebagai sekretaris dan juru bicara. Selain piawai melukis, banyak menulis, juga aktif berceramah tentang perkembangan seni lukis modern. Ia menganjurkan dan menyebarkan gagasan, pandangan, sikap, peranan seni dalam masyarakat di banyak tulisan. Hingga pada saat itu muncul predikat baginya sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia Baru. 1
Sejak 1958 hidup sepenuhnya sebagai pelukis. Menerima pesanan sebagai suatu cara profesional dan halal untuk mendapat uang. Ada beberapa karya pesanan yang dibanggakannya, di antaranya pesanan adegan pertempuran Sultan Agung melawan Jan Pieterszoon Coen tahun 1973. Kini lukisan tersebut disimpan di Museum Fatahillah Jakarta. 2
Ia pernah menekankan bahwa sketsa adalah basis atau dasar seni lukis. “Tangan kita harus terus melukis dan menggambar!” Hingga menjelang ajal, sambil berbaring di rumah sakit, Sudjojono masih sempat membuat sketsa tentang suster yang merawatnya. Setelah meninggal pada 25 Maret 1986 di Jakarta, karya-karyanya masih tetap dipamerkan karena dianggap penting. Tidak hanya sebagai karya seni melainkan juga sebagai jejak rekam kehidupan pada saat itu. Karyanya banyak diikutkan, di antaranya dalam pameran Festival of Indonesia (USA, 1990-1992), Gate Foundation (Amsterdam, Holland, 1993). Singapore Art Museum (1994), Center for Strategic and International Studies (Jakarta, Indonesia, 1996), ASEAN Masterworks (Selangor, KualaLumpur, Malaysia, 1997-1998). 3
Menengok kebelakang apa yang telah dilakukan Sudjojono didalam membangun ekonomi pribadi dan peran terhadap lingkungan, kiranya bisa dilakukan secara bersamaan. Saat ini hal tersebut bahkan menjadi kebutuhan, karya seni sebagai sumber ekonomi, di lain sisi juga punya peran untuk menjaga gerak budaya. Kesenimanan tidak hanya menghasilkan karya seni secara egois atau untuk kepentingan beberapa pihak, melainkan juga sebagai proses jejak rekam bagi kehidupan
Tiap detik logika seniman berjalan, memorinya merekam kejadian yang ada di sekitarnya. Melalui sketsa, gambar, lukis, tulisan, dan lain-lain, bisa menjadi medium perantara proses kreatif seniman dalam memberikan sumbangsih. Semangat tersebut memberikan motivasi pada satu aksi seni di Semarang. Melalui gambar dan sketsa, beberapa pelaku dan pecinta seni berusaha merekam dan mengenal lebih dekat kotanya
ORArT ORET (00) adalah aksi seni dalam sketsa bersama. OO menolak disebut atau tak berhasrat dibentuk sebagai komunitas seni. Dengan harapan agar kebebasan beropini dan berkreativitas tiap individu tetap terjaga, dengan tidak harus mempunyai loyalitas kepada hal tertentu. Dalam praktiknya OO terkesan sederhana, membina silaturahmi peserta, untuk kemudian menggunakan sketsa sebagai media komunikasi dengan warga, tempat di mana OO melakukan aksi. Tetapi apabila kita mau menyadari, apa yang yang telah dilakukan OO dan sudah pernah dilakukan sejak dahulu oleh para seniman kita, bukan perkara mudah. Pelaku dihadapkan pada kondisi untuk bisa menyeimbangkan antara harus mengeluarkan (berperan) dan menghasilkan (komoditi).
OO kali pertama diadakan pada 26 September 2010 dan berkelanjutan per-dwiminggu. Hingga Januarai 2011 aksi seni ini telah bergulir sebanyak sepuluh kali. Diikuti oleh berbagai kalangan semisal, guru gambar, dosen, fotografer, desainer grafis, aktivis seni, penikmat seni, mahasiswa, dan, hingga masyarakat umum. Nama OO berasal dari kata ‘orat-oret’(Jawa), yang dalam bahasa Indonesia berarti corat-coret atau ungkapan untuk menggambar secara bebas. Tujuan OO adalah membangun kerjasama dan mempertemukan semua jenis seni dalam satu semangat gotong-royong dan guyub. Keakraban terus dibina agar saling membagi pengalaman dan pembelajaran bersama dalam meningkatkan kemampuan sketsa juga pembacaan tentang kota. Dadang Pribadi dan Yuga Bagus Wicaksono sebagai pengelola OO menyatakan, “dalam aksi seni ini masing-masing peserta bebas berkreatifitas sesuai bidang seninya”. 4
Ada kesadaran pelaku seni saat ini untuk menghindari kebiasaan lama yang akrab dengan selisih paham akan isu, kepentingan, kebutuhan sepihak dalam dunia seni rupa. Hingga akhirnya kebiasaan itu akan menjebak seniman dalam lingkaran besar yang terus berputar tanpa meninggalkan rekaman lebih baik bagi generasi berikutnya. OO berusaha memberikan pesan, bahwa sebagai seniman yang mempunyai kelebihan berupa kreativitas, sudah seharusnya bisa lebih terbuka, mengenal, apresiatif, dan respek terhadap lingkungan.
OO adalah bukti kondisi seni rupa di Semarang kini. Dengan akal sehat seniman merasa butuh untuk membina kerjasama dengan berbagai lini, demi kepentingan bersama pula. Melebur berbagai isu internal dunia seni, semisal: posisinya sebagai seorang seniman, batasan muda dengan tua, senior dengan yunior, profesional dengan amatir, akademis dengan non-akademis, termashur dengan tak dikenal, atau seniman perseorangan dengan komunitas seni. Sebaliknya dengan sketsa, merekam, mengkaji, beropini, dan berkomunikasi
Sebelum seniman melangkah dengan ide besarnya dalam memaknai isu dunia, sebaiknya diawali dengan kesederhanaan untuk menjawab kebutuhan dan kepentingan disekelilingnya. Respek itulah yang menjadikan posisi seni dan seniman menjadi penting dan berperan bagi kehidupan. Karena itulah Sindudarsono Sudjojono ada. ***
1. http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/sudjojono.html
2. Catatan kunjungan penulis di Museum Fatahillah, Jakarta, Indonesia, pada 19 Juni 2010.
3. Acara Pameran Sang Ahli Gambar, peluncuran buku S. Sudjojono, dan diskusi. Diskusi oleh Aminudin TH Siregar, Amir Sidharta, Srihadi Sudarsono, Oei Hong Djien, dan Wang Zineng di Galeri Soemardja, ITB, Bandung, Jawa Barat, Indonesia, pada 14 Oktober - 10 November 2010.
4. Wawancara dengan Dadang Pribadi dan Yuga Bagus Wicaksono sebagai Pengelola ORArT ORET, Semarang, Indonesia, pada 25 Januari 2011
*) Pendiri dan pengelola Byar Creative Industry, Semarang
.di ambil dari : |
Guyub art!!!
0 comments:
Post a Comment